KALTIMSERUYA.COM – Masih banyak warga yang belum melek hukum. Bahkan kesulitan dalam mendapatkan bantuan hukum. Kondisi demikian terungkap saat kegiatan sosialisasi peraturan daerah (Sosperda) 5/2019 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum, yang dilaksanakan anggota DPRD Kaltim Sapto setyo Pramono.
“Masyarakat banyak tidak tahu akan pentingnya putusan hukum. Padahal potensi pelanggaran hukum bisa terjadi kapan saja sejak melangkah keluar rumah, mulai dari kadar yang paling ringan hingga berat,” kata Sapto saat Sosperda di Samarinda, Selasa (30/8/2022) lalu.
Menurutnya setiap tindakan bisa berdampak hukum. Contoh sederhananya adalah saat berkendaraan. Bila melanggar bisa bersinggungan dengan hukum. Baik itu perdata atau pun pidana. Berkaitan dengan perda katanya sudah terbentuk sejak 2019. Namun detail atau teknisnya baru disusun 2021 lalu. Dimana salah satunya warga yang hendak mendapatkan bantuan hukum, harus menandatangani berkas kepengurusan kasus, atau surat kuasa penanganan kasus. Sebelum minta bantuan, tahap awal adalah membuat permohonan pada lembaga bantuan hukum yang diakui oleh pemerintah. Di Kaltim sendiri ada 19 LBH negara yang sudah diakui oleh pemerintah.
“Rata-rata yang terkena masalah hukum tak bisa berpikir jernih, kebingungan dan kurang menguasai diri saat tertimpa masalah,” imbuhnya.
Setelah itu menyampaikan pokok permasalahan kepada tim kuasa hukum dari LBH. Proses bantuan hukum ini pun diatur dalam pergub secara detail. Termasuk cara memberikan bantuan hukum, melindungi penerima bantuan dan tata cara pelaksanannya. Sapto juga membeber bebeberapa contoh kasus yang bisa dibantu.
“Misalnya: KDRT, kasus PTUN contoh sertifikat ganda, kemudian Kasus PHK sepihak. Tetapi yang harus diperhatikan, bantuan diberikan pada warga yang tidak mampu, itu yang penting,” tegasnya.
Politisi Golkar ini juga menambahkan agar masyarakat memohon bantuan pada LBH yang resmi. Atau yang mendapat dukungan anggaran dari pemerintah. Karena pembiayaan sudah ditanggung oleh negara. Beberapa syaratnya di antaranya: surat keterangan tidak mampu, warga yang memiliki perkara mendampatkan pendampingan. Yang terpenting juga adalah kkesadaran warga untuk tidak gegabah dalam bertindak, yang membuatnya terseret persoalan hukum. Sebagai contoh aktif di media sosial.
“Jangan latah merespons di medsos, karena jika salah merespons, mengomentari konten apapun, juga punya potensi tersandung hukum. Harus pintar memilah konten yang bisa dikomentari dengan aman,” tutupnya. (adv/boy/dprdkaltim)