Home Headline News Soal Pelegalan Aborsi untuk Korban Rudapaksa, Ini Tanggapan Dinkes Bontang

Soal Pelegalan Aborsi untuk Korban Rudapaksa, Ini Tanggapan Dinkes Bontang

Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan (PSDK), Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bontang, Akhmad Hamid Nurudin turut menyoroti soal pelegalan aborsi untuk korban rudapaksa. (dok: koranseruya)

KALTIMKORAMSERUYA – Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan (PSDK), Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bontang, Akhmad Hamid Nurudin turut menyoroti soal pelegalan aborsi untuk korban rudapaksa.

Diketahui, Pemerintah resmi menetapkan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 26 Juli 2024. PP ini berlaku sejak tanggal penetapannya, yakni 26 Juli 2024.

Dalam PP tersebut, terdapat berbagai aturan terkait penyelenggaraan kesehatan, salah satunya pasal 116 tentang aborsi yang menyatakan : “Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana”.

Menanggapi hal itu, Hamid mengungkapkan dukungannya terkait peraturan tersebut. Ia mengatakan pelegalan aborsi untuk korban rudapaksa merupakan aturan khusus demi kepentingan para korban.

“Legal aborsi kan tapi case tertentu. Bukan semuanya. Pemerkosa tetap dihukum pidana. Ini untuk kepentingan korban, kita melihat korbannya,” ucapnya saat ditemui, Senin (19/8/2024).

Lebih lanjut, Hamid mengatakan tindakan kekerasan seksual tentu dapat berdampak bagi fisik dan psikis korban. Setidaknya, pilihan aborsi yang sah secara hukum dan aman dapat sedikit meringankan beban korban.

Adanya pelegalan aborsi menurutnya juga dapat meminimalisir dampak buruk yang tak diinginkan seperti penelantaran dan kekerasan terhadap anak.

“Korbannya mungkin trauma psikis, tidak mau dengan anak hasil pemerkosaan itu, daripada dengan hamilnya dia trauma, menambah anak stunting, mungkin nanti anaknya lahir dia lakukan kekerasan ke anak lagi, karena dia merasa ga ikhlas,” terang Hamid.

Terakhir, ia mengatakan praktik aborsi untuk korban rudapaksa bukanlah hal yang mudah.

“Keputusan aborsi kalau secara medis pasti dipertimbangkan, aborsi itu bukan sesuatu yang gampang juga, terutama pertimbangan efeknya,” pungkasnya.

Ada dua kondisi yang membolehkan praktik aborsi dalam pasal terkait diantaranya harus ada bukti surat keterangan dokter atas usia kehamilan yang sesuai dengan tindak pidana perkosaan dan kedua harus ada keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. (adv)