Home Bontang Revisi UU Pilkada, Ketua DPRD Bontang : Itu Kewenangan DPR

Revisi UU Pilkada, Ketua DPRD Bontang : Itu Kewenangan DPR

Ketua DPRD Bontang Andi Faizal (dok: koranseruya)

KALTIMKORANSERUYA – Revisi kebut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada Rabu (21/8) oleh DPR RI ditanggapi Ketua DPRD Kota Bontang Andi Faizal Sofyan Hasdam pada Kamis, (22/8/2024) siang.

Andi Faizal mengungkapkan soal pembentukan UU sudah merupakan kewenangan DPR sebagai badan legislasi.

“Itukan kewenangan dari DPR dalam mengeluarkan sebuah produk hukum UU, apalagi ini kewenangan MK sebagai lembaga negara yang tugasnya untuk mereview atau mengevaluasi produk peraturan perundang-undangan,” ungkapnya saat ditemui di Kantor DPRD Bontang.

Dirinya menegaskan, sebagai DPRD Kota Bontang yang lembaganya berada di tingkat kota, hanya bisa menjalankan peraturan yang diputuskan oleh yang berada di pusat. Karena itu, terkait aturan-aturan apa yang akan disahkan, pihaknya hanya bakal menunggu.

“Jadi saya kira kami dibawah ini hanya menunggu hasil produknya. Seperti apa dinamikanya, tentukan harus memperhatikan berbagai aspek. Dari masyarakat seperti apa. Karena ini kan sangat sensitif ya,” tambahnya.

“Saya juga tentunya tidak bisa mengomentari lebih banyak karena kan ini baru pembahasan revisi uu, belum disahkan. Kemudian ada gejolak dari arus bawah, dari masyarakat dan mahasiswa dan di seluruh Indonesia yang meminta agar DPR khususnya Baleg itu patuh terhadap keputusan MK,” lanjutnya.

Menyangkut soal revisi UU Pilkada, ada 2 poin penting perbedaan putusan versi MK dan DPR, yaitu:

1. Ambang batas pencalonan (threshold) kandidat

Putusan MK telah mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik yang ada di UU Pilkada sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah.

MK menganulir ambang batas dalam UU Pilkada tersebut melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. MK kemudian memberikan syarat baru ambang batas didasarkan pada jumlah penduduk.

Melalui putusan itu, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Partai yang tidak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon yaitu memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.

Sementara keputusan Baleg DPR pada Rabu (21/8) justru tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Namun, partai politik yang tak punya kursi di DPRD disyaratkan seperti yang diputuskan oleh MK.

2. Batas usia minimum calon kepala daerah

UU Pilkada mengatur batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati/wali kota adalah 25 tahun.

Putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024 menegaskan batas usia minimum calon Gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun, saat ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik.

Sedangkan, keputusan Baleg DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik. Mereka malah mengacu pada keputusan MA dalam menyusun beleid ini, bukan mengikuti MK.

“Saya kira ini perlu jiwa besar dari seluruh pihak, yang punya pemangku kebijakan, yang bisa membuat keputusan untuk menyikapi hal ini. Kami disini hanya menjalankan apapun nantinya hasil produk hukum yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga negara yang ada diatas kami. Kami tidak bisa berkomentar lebih jauh karena ini bukan kewenangan kami untuk menyikapi hal ini. Karena kami adalah perpanjangan tangan untuk menjalankan hasil-hasil produk hukum ,” pungkas Faiz. (Adv)